Karnaval ini sebenarnya berawal dari upacara selamatan warga Ambarketawang , kecamatan Gamping, Kabupaten Slema, Yogyakarta.
Dinamakan Saparan Bekakak karena upacara ini dilaksanakan pada bulan Sapar (bulan kedua kalender jawa) dan bekakak yang berarti korban Penyembelihan hewan atau manusia. Hanya pada upacara ini, yang dikorbankan atau disembelih bukan manusia beneran, tapi diganti dengan sepasang boneka pengantin yang dibuat dari ketan,dan darahnya diganti dengan gula cair (juruh dalam bahasa Jawa)
Kisah yang melatar belakangi upacara ini adalah musibah yang dialami oleh abdi dalem dari Sultan Hamengku Buwono I, yaitu sepasang suami istri Kyai dan Nyai wirasuta. Beliau adalah abdi dalem yang bertugas membawa payung/memayungi Sultan kemanapun beliau pergi.
Pada tahun 1755, Pangeran Mangkubumi dinobatkan menjadi Sultan pertama dari Kasultanan Ngayogjakarto Hadiningrat. Selanjutnya belia mulailah membangun Kraton. Sebelum Kraton yang dibangun jadi, Sultan memilih tinggal di sebuah pesanggrahan di desa Ambarketawang bersama beberapa abdi dalemnya. Pada saat itu, mata pencaharian penduduk ambarketawang adalah penambang batu kapur/Gamping.
Kyai dan Nyai Wirasuta adalah abdi dalem yang setia dan rajin. disela sela tugasnya menjadi abdi dalem, mereka juga rajin bertenak ayam,bebek,kelinci,burung puyuh,merpati dan landak. Mereka merawat baik baik hewan peliharaanya, dan menyanyanginya.
Pada saat kraton yang dibangun sudah jadi, dan Sultan memutuskan pindah ke kraton, Kyai dan Nyai Wirasuta memohon ijin tetap tinggal di Ambarketawang, karena mereka ingin tetap merawat pesanggrahan dan memelihara ternak ternak mereka. Mereka memohon ijin kepada Sultan agar boleh membawa serta putra putri mereka ikut tinggal di Ambarketawang. Sultan mengijikan.
Suatu hari di hari Jum'at Kliwon di bulan sapar, Kyai dan Nyai Wirasuta sedang membersihkan hlaman pesanggrahan, tanpa mereka sadari gunung Gamping disekitar pesanggrahan itu roboh dan emimpa pesanggrahan. Putra putri dan para pembantu beliau bisa menyelamatkan diri. Hewan piaraan merkepun ikut tertimpa reruntuhan gunung gamping itu, tinggal tersisa seekor merpati dengan sawangan,seekor burung puyuh dengan gelang emas dan seekor landak berkalung saputangan merah.
Mendengar kabar yang menimpa abdi dalemnya yang setia itu, Sultan sangatlah berduka, hingga berbulan bulan kesedihan yang dirasakan beliau. Ketika kesedihan itu hampir hilang, terjadilah musibah yang sama, dan dibulan Sapar. Masyarakat sekitarpun menjadi takut dan was was menambang batu kapur atau Gamping. Mengetahui keresahan itu, Sultan bertitah kepada masyarakat Ambarketawang untuk melakukan upacara selamatan bekakak pada setiap bulan sapar. Upacara ini juga bermaksud untuk permohonan kepada Tuhan YME agar masyarakat sekitar dilindungi dari musibah. adapun wujud upacara itu adalah penyembelihan bekakak (sebagai pengganti Kyai dan Nyai Wirasuta) dan sesajen lainya.
Dalam perkembanganya, upacara ini sekarang sudah menjadi upacara budaya dengan karnaval yang menampilkan atraksi dan kesenian yang atraktif dan bagus bagus. Yang tak pernah ketinggalan dari upacara ini adalah hadirnya ogoh ogoh yang berwujud Gendruwo sebagai perwujudan makhluk halus penunggu Gunung Gamping. Sebelum acara ini dilaksanakan, biasanya didahului dengan pasar malam.