Sebagai
simbol pariwisata di Jogja, kusir andong tampaknya benar-benar meresapi falsafah nrimo ing pandum Makaryo ing Nyoto. Meskipun
tidak ada batas ukuran tarif penumpang atas dan bawah, perang tarif
pernah terjadi antarkusir andong.Waridi, 52, kereta Kusir di Jalan
Malioboro andongnya duduk kembali di bangku cadangan. Dia menunggu penumpang di depan Malioboro Mall. Sudah
13 tahun, seorang pria yang dikaruniai cucu selama sebulan terakhir
terlihat tenang meskipun sudah sore. demi menawarkan layanan,
Waridi rela menunggu penumpang berjam-jam. Meskipun membosankan, itu adalah bentuk usaha yang dilakukan. Oleh karena , tidak semua yang datang ke Malioboro ingin merasakan naik andong. Dari
siang hari, kata Wadiri, Penumpang lebih menggunakannya
di malam hari. "Jika selama sebagian besar wisatawan ke lokasi lain,
tidak Malioboro. Ya kita harus menunggu di sini," kata ayah dari tiga anak
laki-laki itu dengan sabar dan tampak rasa bangga di wajahnya. Menurut warga Sewon Bantul, andong telah memberikan kontribusi untuk meramaikan pariwisata di Yogyakarta. Bahkan,
lanjutnya, ada muncul kalimat "jika belum naik andong belum ke Jogja."
Layanan andong di Malioboro tidak memiliki standar tertentu yang
disepakati oleh sekitar 400-500 Malioro kusir kereta di kawasan dan di
luar. Semuanya
diserahkan kepada masing-masing anggota sesuai tawar antara kereta
kusir dengan pelanggan. jarak pendek, misalnya, biaya rata-rata antara Rp 40.000 sampai Rp 50.000. Tarif tidak dipatok keras. Masih tergantung tawar-menawar dengan penumpang.tidak jarang, yang diterima kusir di bawah harga usulan. "Rasa sosial Kusir andong yang tinggi. Kami tidak pernah memaksa penumpang
[naik], jika dirasakan kemahalan ya enggak apa apa. Semua
kesepakatan berdasarkan perjanjian," ia mengatakan bila tidak ada patokan tarif.. Mereka
juga tidak khawatir jika salah satu anggota menetapkan layanan yang
tinggi dengan dolar. "Ada masalah yang menarik untuk mahal atau
tidak. Oleh karena itu, sifat transaksional antara pengemudi dengan
penumpang. Ukurannya adalah layanan atau jasa yang disediakan, "kata
Waridi. kondisi, penumpang tidak mendapatkan satu dalam sehari telah
menjadi biasa untuk Waridi dan teman-temannya." Kalau tidak bisa sehari,
ya itu bahkan dapat menambahkan rasa kesalehan. Rezeki diatur Gusti
Allah ,
bersabar dan introspeksi. Karena, kadang ada sewayah-wayah murah hati
imbalan yang datang atau lebih. Hal ini sering terjadi, "sambil berkata pak Waridi
juga memperbaiki blangkon yang dipasang di kepalanya. Warna batik blangkon itu terlihat lusuh. Pak Waridi tapi masih tetap dipakai. Bicara blangkon, sebut Waridi, semua sopir harus memakainya. Selain
menawarkan khas Jogja, kata dia, juga mengaitkan blangkon dari
sejarah. "Ini [penggunaan blangkon] adalah tradisi, jika pengemudi tidak
mengenakan dan tertangkap oleh Gusti Yudho [GBPH Yudhaningrat] pasti
ditegur. Gusti Yudho adalah sangat
merakyat, sering datang tiba-tiba, Jagongan dengan familiar,
Tidak ada komentar:
Posting Komentar