Translate

Sabtu, 28 Mei 2016

Andong dan kusirnya

http://www.telusurindonesia.com/wp-content/uploads/2015/03/naik-andong-di-jogja-3.jpgSebagai simbol pariwisata di Jogja, kusir andong tampaknya benar-benar meresapi falsafah nrimo ing pandum Makaryo ing Nyoto. Meskipun tidak ada batas ukuran tarif penumpang atas dan bawah, perang tarif pernah terjadi antarkusir andong.Waridi, 52, kereta Kusir di Jalan Malioboro andongnya duduk kembali di bangku cadangan. Dia menunggu penumpang di depan Malioboro Mall. Sudah 13 tahun, seorang pria yang dikaruniai cucu selama sebulan terakhir terlihat tenang meskipun sudah sore. demi menawarkan layanan, Waridi rela menunggu penumpang berjam-jam. Meskipun membosankan, itu adalah bentuk usaha yang dilakukan. Oleh karena , tidak semua yang datang ke Malioboro ingin merasakan naik andong. Dari siang hari, kata Wadiri, Penumpang lebih menggunakannya di malam hari. "Jika selama sebagian besar wisatawan ke lokasi lain, tidak Malioboro. Ya kita harus menunggu di sini," kata ayah dari tiga anak laki-laki itu dengan sabar dan tampak rasa bangga di wajahnya. Menurut warga Sewon Bantul, andong telah memberikan kontribusi untuk meramaikan pariwisata di Yogyakarta. Bahkan, lanjutnya, ada muncul kalimat "jika belum naik andong belum ke  Jogja." Layanan andong di Malioboro tidak memiliki standar tertentu yang disepakati oleh sekitar 400-500 Malioro kusir kereta di kawasan dan di luar. Semuanya diserahkan kepada masing-masing anggota sesuai tawar antara kereta kusir dengan pelanggan. jarak pendek, misalnya,  biaya rata-rata antara Rp 40.000 sampai Rp 50.000. Tarif tidak dipatok keras. Masih  tergantung tawar-menawar dengan penumpang.tidak jarang, yang diterima kusir di bawah harga usulan. "Rasa sosial Kusir andong yang tinggi. Kami tidak pernah memaksa penumpang [naik], jika dirasakan kemahalan ya enggak apa apa. Semua kesepakatan berdasarkan perjanjian," ia mengatakan bila tidak ada patokan tarif.. Mereka juga tidak khawatir jika salah satu anggota menetapkan layanan yang tinggi dengan dolar. "Ada masalah yang menarik untuk mahal atau tidak. Oleh karena itu, sifat transaksional antara pengemudi dengan penumpang. Ukurannya adalah layanan atau jasa yang disediakan, "kata Waridi. kondisi, penumpang tidak mendapatkan satu dalam sehari telah menjadi biasa untuk Waridi dan teman-temannya." Kalau tidak bisa sehari, ya itu bahkan dapat menambahkan rasa kesalehan. Rezeki diatur Gusti Allah , bersabar dan introspeksi. Karena, kadang ada sewayah-wayah murah hati imbalan yang datang atau lebih. Hal ini sering terjadi, "sambil berkata pak Waridi juga memperbaiki blangkon yang dipasang di kepalanya. Warna batik blangkon itu terlihat lusuh. Pak Waridi tapi masih tetap dipakai. Bicara blangkon, sebut Waridi, semua sopir harus memakainya. Selain menawarkan khas Jogja, kata dia, juga mengaitkan blangkon dari sejarah. "Ini [penggunaan blangkon] adalah tradisi, jika pengemudi tidak mengenakan dan tertangkap oleh Gusti Yudho [GBPH Yudhaningrat] pasti ditegur. Gusti Yudho adalah sangat merakyat, sering datang tiba-tiba, Jagongan dengan familiar,

Tidak ada komentar:

Posting Komentar